Ceritaku Tentang Donor Darah – Ahmad Zulfiyan (UNJ)

Estimated read time 3 min read

Halo, saya ingin membagi kisah tentang pengalaman donor darah. Saya masih ingat pertama kali mendonorkan darah saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), mungkin sekitar kelas sebelas akhir. Saat itu, keinginan untuk mendonorkan darah hanya sekadar iseng.

Pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sekolah saya bekerjasama dengan Ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Kabupaten Tulungagung mengadakan acara donor darah. Saat itu, umur saya baru saja menginjak 17 tahun

Karena iseng, saya memberanikan diri untuk mendonorkan darah. Perlu diketahui bahwa saya sangat takut dengan jarum suntik. Setiap sakit, saya meminta dokter untuk memberikan obat, bukan suntikan. Bahkan, sampai sekarang saya masih takut dengan jarum suntik.

Namun, saat itu keinginan untuk menolong lebih besar daripada sekedar rasa takut. Saya mendengar selentingan dari sekitar bahwa banyak pasien yang butuh darah. Alhasil, awalnya hanya iseng akhirnya membulatkan tekad untuk mendonorkan darah untuk pertama kali.

Sebenarnya, orang tua, terutama Ibu tidak menganjurkan (cenderung melarang) saya untuk mendonorkan darah. Alasannya, Ibu takut saya pingsan karena saat itu saya menderita penyakit darah rendah dan maag. Namun, saya sudah bertekad untuk berbuat baik melalui donor darah.

Makanya, saya tak pernah meminta ijin Ibu untuk donor darah. Baru, ketika donor sudah selesai, saya bilang kepada Ibu. Maafkan anakmu ini, Ibuku sayang.

Kembali ke proses donor darah, seperti yang sudah saya bilang, saya sangat takut dengan jarum suntik. Lalu, bagaimana bisa saya mendonorkan darah?

Mudah saja. Ketika jarum mulai menancap di lengan, saya tak pernah melihatnya. Saya kadang berpaling ke arah lain atau memejamkan mata agar tak melihat proses tersebut.

Rasa sakit? Jelas. Namun, saya selalu mewanti pihak PMI yang mengambil darah untuk mengijinkan saya berteriak saat jarum menyentuh kulit. Hehe.

Sampai sekarang, saya “ketagihan” mendonorkan darah. Bagaimana bisa saya menghentikan kebaikan untuk orang lain (dan diri sendiri)? Banyak saudara kita di luar sana, bahkan yang tidak kita kenal, membutuhkan darah untuk bertahan hidup.

Apalagi, banyak yang bilang golongan darah saya (AB) cukup sulit ditemukan. Saya berkomitmen untuk tetap mendonorkan darah (meski tidak rutin) sampai akhir hayat.

Komitmen tersebut beralasan. Saat saya menjadi panitia pembantu di Young On Top Love Donation 2015 lalu, pikiran saya lebih terbuka tentang penyakit Thalassemia. Penyakit ini adalah penyakit genetik dimana penderitanya hanya dapat bertahan hidup dengan tranfusi rutin.

Bagaimana mungkin kita membiarkan mereka yang membutuhkan darah kita? Sejahat itukah kita? Coba bayangkan ketika kita, saudara, atau orang tua kita membutuhkan darah, lalu tak ada yang membantu? Nyes.

Jadi, melalui tulisan ini, saya tak sekadar bercerita, namun juga mengajak semua pembaca untuk berani mendonorkan darah (bagi yang belum). Bagi yang sudah, Tuhan tahu apa yang kalian kerjakan demi kebaikan.

Maka, lanjutkanlah. Betapa indah hidup ketika kita saling membagi kebahagiaan antarsesama. Tak perlu menunggu lama, mari kita donorkan darah kita, demi saudara yang membutuhkan.

Ahmad Zulfiyan – Student of Department of Economics and Administration, Faculty of Economy, Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

You May Also Like

+ There are no comments

Add yours